|
Ilustrasi: ibu dan balita (photo by Luis Frps/Pixabay) |
"Entah apa yang merasukimu…"
Mungkin seperti itulah reaksi banyak orang hari-hari ini, ketika menyimak kelakuan NP (21) seorang ibu di Kebon Jeruk Jakarta yang tega membunuh ZNL (2,5) putrinya kandungnya sendiri, darah dagingnya sendiri.
Dari berita yang beredar NP menggelonggong putrinya itu dengan air galon secara terus menerus sampai tewas. Kepada polisi NP mengaku melakukan hal itu karena ingin membuat anaknya menjadi cepat gemuk.
NP mengaku kesal karena sering disalahkan suami dan ibu mertuanya yang menganggapnya tak becus mengurus anak.
Dari berita yang beredar di berbagai media massa, diketahui NP ini mempunyai sepasang anak balita (kembar) yang mempunyai perkembangan tubuh yang berbeda, ZNL tumbuh kurus, sedangkan kembarannya gemuk dan sehat.
Menurut NP. Karena ada perbedaan pertumbuhan inilah, NP kerap disalahkan suami dan ibu mertuanya dan hal ini membuat NP merasa tertekan yang akhirnya membuat emosinya memuncak dan kalap sehingga ia tega melakukan penyiksaan yang mengakibatkan anaknya tewas tak terselamatkan.
Namun. Belakangan, mengikuti update berita terbaru, sudah ada keterangan bantahan dari Bobi Lesmana, suami NP. Menurutnya NP memang sudah berubah tingkah laku sejak setahun lalu, suka sembarangan dalam mengurus anak dan selalu melawan kalau dinasihati suami.
Kejadian yang menimpa keluarga Bobby ini adalah tragedi memilukan yang mestinya tidak terjadi, kita semua prihatin dan berduka. Semoga kejadian seperti ini tidak terjadi lagi di kemudian hari. Kita juga berharap pelaku mendapatkan hukuman yang seadil-adilnya sesuai aturan hukum yang berlaku. Tentunya.
Namun dibalik semua tragedi ini, jika kita mau sejenak merenungkan dengan pikiran jernih yang netral --Kalau betul pemicunya seperti pengakuan NP yang merasa tertekan batin oleh orang-orang terdekatnya.
Kita bisa melihat dalam kasus ini anak menjadi korban pelampiasan kekesalan atau kemarahan atau tekanan batin, emosi ibunya. Jadi ada pemicu disitu! Ada pencetus yang memicu meledaknya akumulatif emosi si ibu.
Dan apa yang terjadi menimpa keluarga Bobi Lesmana ini. Bisa terjadi menimpa keluarga siapa pun di kehidupan ini. Bahkan tindak kejahatan seperti ini, bisa menjadi perbuatan siapa saja, termasuk diri kita, saya atau anda.
Memang betul!
Terlepas dari apapun penyebab dan alasan yang menjadi latar belakang pembunuhan itu. Pembunuhan tetaplah pembunuhan, tindak kejahatan yang harus diberikan hukuman setimpal. Namun dibalik semua itu pernahkah kita menyadari?
Bahwa potensi terjadinya tragedi semacam itu bisa ada di keluarga kita juga. Hal ini patut kita waspadai bersama. Karena dibalik tindak kejahatan seseorang tentu ada penyebab yang kompleks disebaliknya.
Apakah diri kita sudah aman dan nyaman bagi anggota keluarga lainnya? Apakah orang-orang terdekat di sekeliling kita tidak merasa tertekan, kesal, benci, atau dendam, dengan sikap kita yang mungkin arogan, egois, selalu ingin menang sendiri, dan suka memaksakan kehendak pribadi, tanpa kita sadari. Sudahkah kita aman dari semua itu?
Mayoritas kasus ketidakharmonisan rumah tangga dan atau kehancuran sebuah keluarga disebabkan oleh banyaknya miskomunikasi yang intens dan berlarut-larut dalam jangka waktu yang panjang tanpa adanya solusi.
Miskomunikasi ini bisa terjadi akibat adanya dominasi sikap di keluarga oleh salah satu individu, bisa ayah, ibu, istri, suami, anak, mertua, menantu, ipar, dan anggota keluarga lainnya, bisa siapa saja. Hal seperti ini dapat memunculkan ketidaknyamanan dan perasaan tertekan bagi anggota keluarga lainnya.
Apalagi kalau setiap individu di keluarga sama-sama keras kepala dan selalu saling menyalahkan satu sama lainnya. Miskomunikasi dan minimnya diskusi adalah bom waktu yang sangat berbahaya bagi keutuhan sebuah rumah tangga, sebuah keluarga.
Saya tak ingin ikutan terjebak dengan penilaian-penilaian instan kepada pelaku, seperti menyebutnya 'tak punya iman, tidak bermoral, tidak bertuhan, kerasukan setan' atau hujatan-hujatan lainnya yang sesungguhnya tidak memperbaiki keadaan.
Jangan lupakan, lima atau enam tahun silam, pernah terjadi di Bandung Jawa Barat. Ada seorang ibu yang tega membunuh tiga anaknya. Padahal di masyarakat sekitar, ibu ini dikenal sebagai seorang yang taat beribadah, bahkan merupakan aktivis dakwah.
Tetapi ia bisa khilaf juga melakukan perbuatan terkutuk dan keji! Apakah dia tidak beriman dan tidak percaya Tuhan? Sudah cukup jelas bukan?
Bahkan pada kasus lainnya. Ada orang tua yang tega membunuh anaknya, justru setelah ia (mengaku) mendapatkan ilham setelah selesai shalat tahajud! Ironis, bukan?
Maka sekali lagi. Tragedi seperti ini hendaknya menjadi bahan introspeksi. Entah sebagai siapapun kita di keluarga dan di dalam rumah tangga, mungkin sebagai seorang suami, istri, mertua, menantu, atau lainnya.
Sudah sepatutnya kita memperlakukan semua anggota keluarga setulus hati dengan perhatian, cinta dan kasih sayang. Hindari sifat arogansi, dan hobi menyalahkan orang lain. Biasakanlah berkomunikasi dua arah dengan siapa saja. Apalagi dengan pasangan hidup kita.
Menjalin komunikasi yang baik selalu mengedepankan diskusi, dan mengupayakan solusi untuk setiap persoalan dalam keluarga adalah hal utama untuk membina keharmonisan hidup bersama. Agar kita semua terhindar dari hal-hal yang tidak kita inginkan.
Sudah semestinya kita semua menjaga keutuhan keluarga dan rumah tangga dengan sebaik-baiknya, jangan sampai ada bibit-bibit kebencian atau beban batin di dalamnya yang disebabkan ketidakadilan sikap dan perilaku kita di keluarga yang akhirnya dapat memicu kehancuran di satu masa.
Setidaknya dari kejadian ini dapat lah kita semua menjadikannya suatu pembelajaran berharga untuk berintrospeksi diri bahwa, berkeluarga dan berumah tangga itu memerlukan ilmu pengetahuan yang mumpuni dan memadai.
Mari jaga selalu keharmonisan antar anggota keluarga, bangun dan bina keutuhan keluarga kita bersama. Seperti kata 'Keluarga Cemara': Harta yang paling berharga adalah keluarga. Semoga.
________________
Komentar
Posting Komentar